OKB (ORANG KAYA BARU)

Saya melihat "mahluk baru" bernama "OKB" alias orang kaya baru begitu marak bermunculan di Jakarta dan kota-kota besar di negeri ini sejak 5 tahun terakhir ini. Kolom ini saya tulis di Starbucks Plasa Senayan, kemarin sore, sehingga sambil merangkai kata dan analisa saya langsung melihat dan mengamati "on the spot" bagaimana konsumen OKB ini "beraksi" berburu diskon di tengah Jakarta Great Sale yang kini sedang menjadi demam di seantero kota saat ini.

Seperti halnya di Cina, Indonesia yang kini sedang bergerak menjadi negara maju baru (new emerging countries) seiring terlampauinya GDP perkapita $3000 (2010) akan menghasilkan banyak OKB. Mereka adalah konsumen kelas menengah baru ("new middle class consumers" atau saya menyebut mereka "consumer 3000") dengan kemampuan daya beli yang tinggi. Mereka membelanjakan uangnya (disposable income) tak hanya untuk produk kebutuhan sehari-hari tapi juga produk-produk sekunder bahkan mewah seperti gadget, mobil, branded fashion, atau liburan ke luar negeri.

Di Cina, konsumen kelas menengah-atas (dengan pengeluaran $10 perhari) kini sudah mencapai lebih dari 300 juta orang dan Cina merupakan negara dengan pertumbuhan OKB paling tinggi di seluruh dunia. Saat ini Cina merupakan pasar ketiga terbesar untuk produk-produk mewah (luxury product) seperti LV, Armani, atau Hugo Boss yang tumbuh 17-20% konsisten tiap tahun. McKinsey bahkan meramalkan tahun 2015 Cina akan menjadi pasar produk mewah terbesar di dunia yang menguasai sekitar 20% pangsa pasar.

Indonesia akan menikmati "panen besar" OKB seperti halnya yang terjadi di Cina seiring dengan cepatnya pertumbuhan ekonomi di era consumer 3000. OKB dalam judul kolom ini sengaja saya beri tanda kutip, karena mereka bukanlah orang kaya baru yang sesungguhnya. Mereka belum kaya-kaya amat, tapi lagak dan gaya hidupnya sudah seperti orang kaya. Konsumen jenis inilah yang begitu banyak saya temui di mal-mal, di supermarket-supermarket, atau di kantor-kantor. Jumlah mereka bakal terus membesar.

Bagaimana perilaku membeli dan konsumsi mereka? Berikut ini adalah sebagian di antaranya, yang saya dapatkan dari pengamatan sehari-hari saya.

Consumption is a Symbol of Richness

Mereka mengonsumsi produk-produk yang mereka beli bukanlah sekedar untuk memenuhi kebutuhan utilitas/fungsional mereka, tapi juga menjadi simbol bahwa mereka berasal dari kalangan berada. "consumption is a symbol of richness". Mereka ke Starbucks dengan membawa iPad atau MacBook Air, ngobrol berlama-lama dengan rekan atau pasangan bukan sekedar untuk ngopi, tapi juga untuk menunjukkan siapa mereka ("show me" lifestyle). Mereka berlibur ke luar negeri bukan sekedar untuk bersenang-senang menghilangkan stres dan kepenatan, tapi juga menjadi simbol bahwa mereka sudah menjadi golongan masyarakat mapan. "They consumed goods for self-advertisement than utility".

Shopping Exuberance

Beberapa bulan ini saya mengamati pola belanja ibu-ibu di Jakarta. Makin banyak dari mereka ini yang hobi banget ke mal, bisa 3-4 kali seminggu, dan setiap ke mal selalu saja ada yang dibeli. Celakanya, barang-barang yang dibeli itu sudah ada di rumah dan masih berfungsi dengan baik. Mereka membeli barang-barang mulai dari peralatan dapur, tas, sepatu, baju anak, peralatan olah raga, hingga ponsel, bukan karena mereka butuh tapi karena di mal mereka mendapati model yang lebih baru atau versi yang lebih baik. Karena barang yang sama terus dibeli, akibatnya tentu barang-barang itu menimbun di rumah.

"They buy not what they needed but what they desired". Tidak penting apakah barang itu dibutuhkan atau tidak; yang penting adalah ketika di mal mereka harus membeli. Inilah yang saya sebut "shopping exuberance". Yang terpenting bagi mereka adalah mendapatkan kenikmatan luar biasa saat berbelanja; apakah barang yang mereka beli itu bermanfaat dan memenuhi kebutuhan mereka bukanlah menjadi isu yang penting. Ketika konsumen kita merasakan adanya "keamanan finansial" (financial security) alias "merasa nggak hidup susah lagi", maka fenomena shopping exuberance ini akan kian merajalela.

"Buy Now, Pay Later" Culture

Bagi OKB, kartu kredit bukanlah sesuatu yang wah lagi. Kebiasaan berbelanja menggunakan kartu kredit pada gilirannya membentuk pola budaya belanja "buy now, pay later" yang ujung-ujungnya menjadikan mereka makin konsumtif. Ketika kita sudah "kecanduan" kartu kredit, maka biasanya kita "tutup mata" terhadap nilai uang yang kita keluarkan pada saat berbelanja. Pada saat berbelanja, tagihan kartu kredit adalah masalah belakang, pokoknya yang terpenting barang terbeli dulu. Itu sebabnya pertumbuhan OKB di banyak negara (kasus yang ekstrim terjadi di Brasil) selalu diikuti persoalan kredit macet yang terjadi pada para pengguna kartu kredit. Kalau budaya "buy now, pay later" ini tak terkendali, bisa-bisa banyak bank yang nantinya mengalami masalah karena para pemegang kartu kreditnya default tak mampu bayar.

Death Risk

Seperti halnya yang terjadi di Cina, OKB biasanya muncul karena seseorang mendapatkan peningkatan penghasilan yang sangat signifikan dalam kurun waktu yang relatif pendek. Karena adanya peningkatan "kemakmuran" secara cepat itu, biasanya OKB menjadi hyper-consumptive. Barang-barang yang dulunya tak terbeli kini secara membabi-buta mereka beli dan konsumsi. Celakanya peningkatan kemakmuran yang cepat ini tidak serta-merta diikuti dengan peningkatan "civilization" yang memadai.

Contohnya dalam hal konsumsi makanan. Seringkali terjadi, konsumsi makanan yang berlebih di kalangan OKB tidak diikuti dengan kesadaran terhadap pentingnya kesehatan. Karena itu tak mengherankan jika studi WHO menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan perkapita di negara-negara ASEAN termasuk Indonesia membawa dampak buruk berupa meningkatnya kematian akibat penyakit kronis seperti jantung, diabetes, kanker, dan pernafasan kronis. Studi itu mangatakan, "Mereka yang berpenghasilan lebih tinggi cenderung membeli dan berlebih mengkonsumsi daging, telur, susu, atau makanan siap saji."