Ariel Tatum

Nama Ariel Tatum muncul di sejumlah pemberitaan terkait dengan kedekatannya dengan Al Ghazali (Al). Kedekatan mereka bisa dikatakan mirip sepasang kekasih. Al mengaku sering kena gombal wanita yang dekat dengannya itu. Namun, ia membalasnya dengan kata-kata romantis.

Al berujar jika ia tidak jarang kena gombali Ariel Tatum. Dan wanita yang dekat dengannya itu mengakuinya. Seringnya, kata Ariel, memang diawali olehnya. Namun pada ujungnya sering dibalas oleh Al.






Ariel mengaku risih ketika menjalani perawatan tubuh ke salon. "Aku luluran. Tapi kalau di salon, gak suka, risih kalau ada yang lihat di salon. Seminggu sekali luluran," lanjutnya.

Ariel mengaku masalah kulitnya adalah karena berminyak. Namun dirinya bersyukur karena kulit berminyak lebih bagus daripada terlalu kering. "Aku sih lebih ke berminyak, tapi justru bagus ya kulitnya gak kering. Usaha ngejaga, pakai handbody lotion, itu simpel way & best way," tuturnya.

Siapa yang menyangka dengan wajah dan tubuh secantik itu, Ariel Tatum ternyata tidak menyukai salon. "Perawatan wajah aku takut pake obat-obatan, hapus make up aja aku pake baby oil. Olahraga aku paling berenang & ngedance, hiphop dan ballet," tukas Ariel.

Trend Kebaya Modern 2014

Sebenarnya jika di bilang lumayan telat artikel ini dutulis, karena sekarang sudah mau memasuki bulan maret. Tetapi tidak ada salahnya jika Model Baju Kebaya Modern 2014 kami berikan kepada para trend update fashion khususnya para wanita. Beberapa perancang kebaya seperti Anne Avantie pasti sudah mengeluarkan banyak model baju andalannya. Maka dari itu jangan heran kalo banyak anak muda sudah mengkombinasi model pakaiannya.

Berkenaan dengan "Model Kebaya Modern". Beberapa gambar dibawah ini bisa anda jadikan infiratif dalam berpakaian, baik untuk ke pesta ataupun untuk mendatangi acara resmi lainnya. Dan berikut ini Trend Model Kebaya Modern 2014 untuk anda






Asal kata kebaya berasal dari kata arab abaya yang berarti pakaian. Ada pendapat yang menyatakan kebaya berasal dari China. Lalu menyebar ke Malaka, Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi. Setelah akulturasi yang berlangsung ratusan tahun, pakaian itu diterima di budaya dan norma setempat. Namun ada juga pendapat bahwa kebaya memang asli dari Indonesia. Karena pakaian asli China adalah Cheongsam yang berbeda dari kebaya. Bentuk paling awal dari kebaya berasal dari istana Majapahit sebagai sarana untuk memadukan perempuan Kemban yang ada, tubuh bungkus dari perempuan aristokrat menjadi lebih sederhana dan dapat diterima oleh yang baru memeluk agama Islam. Aceh, Riau dan Johor dan Sumatera Utara mengadopsi gaya kebaya Jawa sebagai sarana ekspresi sosial status dengan penguasa Jawa yang lebih alus atau halus. Nama kebaya sebagai pakaian tertentu telah dicatat oleh Portugal saat mendarat di Jawa. Kebaya Jawa seperti yang ada sekarang telah dicatat oleh Thomas Stamford Bingley Raffles di 1817, sebagai sutra, brokat dan beludru, dengan pembukaan pusat dari blus diikat oleh bros, bukan tombol dan tombol-lubang di atas batang tubuh bungkus kemben, yang kain (dan pisahkan bungkus kain beberapa meter panjang keliru diberi istilah 'sarung di Inggris (sarung (aksen Malaysia: sarung) dijahit untuk membentuk tabung, seperti pakaian Barat).

OKB (ORANG KAYA BARU)

Saya melihat "mahluk baru" bernama "OKB" alias orang kaya baru begitu marak bermunculan di Jakarta dan kota-kota besar di negeri ini sejak 5 tahun terakhir ini. Kolom ini saya tulis di Starbucks Plasa Senayan, kemarin sore, sehingga sambil merangkai kata dan analisa saya langsung melihat dan mengamati "on the spot" bagaimana konsumen OKB ini "beraksi" berburu diskon di tengah Jakarta Great Sale yang kini sedang menjadi demam di seantero kota saat ini.

Seperti halnya di Cina, Indonesia yang kini sedang bergerak menjadi negara maju baru (new emerging countries) seiring terlampauinya GDP perkapita $3000 (2010) akan menghasilkan banyak OKB. Mereka adalah konsumen kelas menengah baru ("new middle class consumers" atau saya menyebut mereka "consumer 3000") dengan kemampuan daya beli yang tinggi. Mereka membelanjakan uangnya (disposable income) tak hanya untuk produk kebutuhan sehari-hari tapi juga produk-produk sekunder bahkan mewah seperti gadget, mobil, branded fashion, atau liburan ke luar negeri.

Di Cina, konsumen kelas menengah-atas (dengan pengeluaran $10 perhari) kini sudah mencapai lebih dari 300 juta orang dan Cina merupakan negara dengan pertumbuhan OKB paling tinggi di seluruh dunia. Saat ini Cina merupakan pasar ketiga terbesar untuk produk-produk mewah (luxury product) seperti LV, Armani, atau Hugo Boss yang tumbuh 17-20% konsisten tiap tahun. McKinsey bahkan meramalkan tahun 2015 Cina akan menjadi pasar produk mewah terbesar di dunia yang menguasai sekitar 20% pangsa pasar.

Indonesia akan menikmati "panen besar" OKB seperti halnya yang terjadi di Cina seiring dengan cepatnya pertumbuhan ekonomi di era consumer 3000. OKB dalam judul kolom ini sengaja saya beri tanda kutip, karena mereka bukanlah orang kaya baru yang sesungguhnya. Mereka belum kaya-kaya amat, tapi lagak dan gaya hidupnya sudah seperti orang kaya. Konsumen jenis inilah yang begitu banyak saya temui di mal-mal, di supermarket-supermarket, atau di kantor-kantor. Jumlah mereka bakal terus membesar.

Bagaimana perilaku membeli dan konsumsi mereka? Berikut ini adalah sebagian di antaranya, yang saya dapatkan dari pengamatan sehari-hari saya.

Consumption is a Symbol of Richness

Mereka mengonsumsi produk-produk yang mereka beli bukanlah sekedar untuk memenuhi kebutuhan utilitas/fungsional mereka, tapi juga menjadi simbol bahwa mereka berasal dari kalangan berada. "consumption is a symbol of richness". Mereka ke Starbucks dengan membawa iPad atau MacBook Air, ngobrol berlama-lama dengan rekan atau pasangan bukan sekedar untuk ngopi, tapi juga untuk menunjukkan siapa mereka ("show me" lifestyle). Mereka berlibur ke luar negeri bukan sekedar untuk bersenang-senang menghilangkan stres dan kepenatan, tapi juga menjadi simbol bahwa mereka sudah menjadi golongan masyarakat mapan. "They consumed goods for self-advertisement than utility".

Shopping Exuberance

Beberapa bulan ini saya mengamati pola belanja ibu-ibu di Jakarta. Makin banyak dari mereka ini yang hobi banget ke mal, bisa 3-4 kali seminggu, dan setiap ke mal selalu saja ada yang dibeli. Celakanya, barang-barang yang dibeli itu sudah ada di rumah dan masih berfungsi dengan baik. Mereka membeli barang-barang mulai dari peralatan dapur, tas, sepatu, baju anak, peralatan olah raga, hingga ponsel, bukan karena mereka butuh tapi karena di mal mereka mendapati model yang lebih baru atau versi yang lebih baik. Karena barang yang sama terus dibeli, akibatnya tentu barang-barang itu menimbun di rumah.

"They buy not what they needed but what they desired". Tidak penting apakah barang itu dibutuhkan atau tidak; yang penting adalah ketika di mal mereka harus membeli. Inilah yang saya sebut "shopping exuberance". Yang terpenting bagi mereka adalah mendapatkan kenikmatan luar biasa saat berbelanja; apakah barang yang mereka beli itu bermanfaat dan memenuhi kebutuhan mereka bukanlah menjadi isu yang penting. Ketika konsumen kita merasakan adanya "keamanan finansial" (financial security) alias "merasa nggak hidup susah lagi", maka fenomena shopping exuberance ini akan kian merajalela.

"Buy Now, Pay Later" Culture

Bagi OKB, kartu kredit bukanlah sesuatu yang wah lagi. Kebiasaan berbelanja menggunakan kartu kredit pada gilirannya membentuk pola budaya belanja "buy now, pay later" yang ujung-ujungnya menjadikan mereka makin konsumtif. Ketika kita sudah "kecanduan" kartu kredit, maka biasanya kita "tutup mata" terhadap nilai uang yang kita keluarkan pada saat berbelanja. Pada saat berbelanja, tagihan kartu kredit adalah masalah belakang, pokoknya yang terpenting barang terbeli dulu. Itu sebabnya pertumbuhan OKB di banyak negara (kasus yang ekstrim terjadi di Brasil) selalu diikuti persoalan kredit macet yang terjadi pada para pengguna kartu kredit. Kalau budaya "buy now, pay later" ini tak terkendali, bisa-bisa banyak bank yang nantinya mengalami masalah karena para pemegang kartu kreditnya default tak mampu bayar.

Death Risk

Seperti halnya yang terjadi di Cina, OKB biasanya muncul karena seseorang mendapatkan peningkatan penghasilan yang sangat signifikan dalam kurun waktu yang relatif pendek. Karena adanya peningkatan "kemakmuran" secara cepat itu, biasanya OKB menjadi hyper-consumptive. Barang-barang yang dulunya tak terbeli kini secara membabi-buta mereka beli dan konsumsi. Celakanya peningkatan kemakmuran yang cepat ini tidak serta-merta diikuti dengan peningkatan "civilization" yang memadai.

Contohnya dalam hal konsumsi makanan. Seringkali terjadi, konsumsi makanan yang berlebih di kalangan OKB tidak diikuti dengan kesadaran terhadap pentingnya kesehatan. Karena itu tak mengherankan jika studi WHO menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan perkapita di negara-negara ASEAN termasuk Indonesia membawa dampak buruk berupa meningkatnya kematian akibat penyakit kronis seperti jantung, diabetes, kanker, dan pernafasan kronis. Studi itu mangatakan, "Mereka yang berpenghasilan lebih tinggi cenderung membeli dan berlebih mengkonsumsi daging, telur, susu, atau makanan siap saji."

Berada di Jalan yang Benar

Kalau kita bicara soal perencanaan keuangan, maka kita akan selalu bertanya-tanya, apakah kita sudah berada di jalan yang benar? Saya, Anda, kita semua pasti punya rencana-rencana yang ingin kita raih di masa depan. Tapi apakah untuk menggapai rencana tersebut kita sudah on target atau malah behind schedule?

Cara cepat untuk menentukan apakah kita sudah berada di jalan yang benar adalah salah satunya dengan mengukur kekayaan bersih (net worth). Berapa sih seharusnya kekayaan bersih yang kita miliki saat ini? Apakah seseorang berusia 30 tahun dengan kekayaan bersih Rp 50 juta lebih buruk daripada seseorang berusia 60 tahun dengan kekayaan bersih Rp 200 juta? Bagaimana kita bisa mengukurnya?

Dalam buku The Millionaire Next Door, Thomas Stanley dan William Danko mengusulkan sebuah formula berikut:

"Multiply your age times your realized pretax annual household income from all sources except inheritances. Divide by ten. This, less any inherited wealth, is what your net worth should be."

Kalikan usia Anda saat ini dengan seluruh penghasilan tahunan Anda (selain warisan/hibah). Kemudian, dibagi dengan 10. Inilah angka yang seharusnya mencerminkan kekayaan bersih Anda saat ini. Kalau Anda menikah (punya tanggungan), maka tinggal Anda kalikan dua dari angka tersebut.

Misalkan usia Anda sekarang 35 tahun. Anda mendapatkan gaji Rp 100 juta per tahun. Anda tidak punya tanggungan apa-apa. Berapakah seharusnya kekayaan bersih yang Anda miliki saat ini?

Cara menghitungnya adalah sebagai berikut: 35 (tahun) dikali 100 (juta) dibagi 10 sama dengan 350. Jadi setidaknya Anda harus punya kekayaan bersih sebesar Rp 350 juta saat ini.

Seandainya usia Anda saat ini 60 tahun dan menikah, dengan penghasilan yang sama (Rp 100 juta per tahun), maka seharusnya Anda punya kekayaan bersih sebesar Rp 1,2 miliar.

Formula ini bukan sesuatu yang baru, karena hanya memodifikasi dari formula klasik "10% savings rule." Formula ini juga menyederhanakan aspek lain seperti inflasi, pajak, suku bunga, dan sebagainya. Namun, formula ini cukup bisa menjadi cara cepat dan mudah untuk mengukur kekayaan Anda. Selain itu, biarpun sederhana, formula ini sudah teruji secara matematis.

Nah, sebelum kita masuk ke pembahasan yang lebih teknis dan lebih detil, cobalah Anda ukur kekayaan bersih Anda. Apakah Anda sudah berada di jalan yang benar? Apakah Anda sudah bisa melebihi standar tersebut? Atau malah Anda tertinggal di belakang?

Mengenal Jenis Investasi


Secara umum, investasi bisa dibagi dalam empat kategori utama:

(1) Investasi Surat Berharga (Paper Assets)

Investasi dalam kategori ini adalah investasi menggunakan instrumen finansial seperti reksadana, obligasi, ORI, saham, dan sebagainya. Instrumen surat berharga semacam ini diperjualbelikan di pasar keuangan (pasar modal). Untuk instrumen seperti saham atau obligasi, Anda diharuskan membuka account melalui pialang/broker untuk bisa melakukan transaksi. Sementara untuk instrumen seperti ORI atau reksadana bisa dibeli langsung dari bank atau dari agen penjual yang ditunjuk.

(2) Investasi Bisnis (Brick and Mortar)

Investasi dalam kategori ini misalnya Anda membuat bisnis sendiri atau membeli franchise yang sudah ada. Ini adalah alat investasi yang potential upside-nya tak terbatas. Orang bisa meraih kesuksesan dan kekayaan secara eksponensial dari bisnis. Tak percaya? Silakan buka daftar orang-orang terkaya di dunia versi Forbes (atau versi pemeringkat lainnya). Anda akan mendapati bahwa mayoritas orang-orang yang duduk di sana besar karena bisnis mereka.

(3) Investasi Properti (Real Estate)

Investasi properti bisa berupa tanah, rumah, ruko-rukan, maupun bentuk bangunan lainnya. Strategi investasinya secara umum bisa dibagi dua: jual-beli dan sewa. Jual-beli properti memungkinkan Anda mendapatkan gain dari selisih antara harga jual dan harga belinya. Padahal kita tahu bahwa properti (tanah) hampir selalu tak pernah turun harganya. Selain jual-beli, properti juga bisa Anda sewakan untuk mendapatkan cashflow dari tarif sewa yang Anda bebankan. Kelemahannya, investasi properti butuh dana yang cukup besar.

(4) Investasi Lain-lain

Adapun jenis investasi yang masuk kategori ini misalnya emas (logam mulia) -- salah satu instrumen investasi yang belakangan makin populer. Selain emas, sebenarnya logam mulia seperti perak atau paladium juga lazim dijadikan alat investasi. Selain itu, ada pula benda-benda seni (collectible) seperti barang-barang antik, lukisan, perhiasan, arloji premium, dan lain sebagainya yang memiliki unsur historis yang tinggi. Saya juga memasukkan anggur (wine) sebagai salah satu alternatif investasi karena harganya yang cenderung selalu naik.

Tiap orang punya keahlian dan spesialisasi masing-masing -- walaupun mungkin ada kecenderungan untuk menyukai atau mendalami jenis investasi tertentu. Misalnya, Bill Gates berinvestasi dalam bentuk bisnis (Microsoft) tapi dia juga berinvestasi dengan memborong emas dan perak di tahun 2000an. Donald Trump, selain dikenal sebagai raja properti, juga mengelola sejumlah bisnis di bidang lain.

Tapi bagaimana dengan pilihan investasi bagi kita orang kebanyakan?

Di Inggris, orang masih memilih tanah (land) -- bukan rumah (housing) -- sebagai pilihan investasi utamanya, sedangkan di Hongkong, saham adalah pilihan yang paling diminati. Sementara di New Zealand, ternyata deposito masih menjadi instrumen investasi yang paling populer.

Sementara di Indonesia, hasilnya relatif beragam. Sebagian besar orang masih menyimpan dananya dalam bentuk deposito di bank. Tapi tak sedikit juga yang memiliki investasi dalam bentuk tanah atau properti. Sedangkan untuk instrumen lain yang lebih canggih seperti reksadana atau saham, relatif masih terbatas di kalangan tertentu. Harus diakui bahwa di Indonesia masih sedikit mereka yang melek informasi sekaligus punya appetite terhadap risiko untuk bisa menjangkau instrumen-instrumen investasi semacam itu.