Showing posts with label Market. Show all posts
Showing posts with label Market. Show all posts

OKB (ORANG KAYA BARU)

Saya melihat "mahluk baru" bernama "OKB" alias orang kaya baru begitu marak bermunculan di Jakarta dan kota-kota besar di negeri ini sejak 5 tahun terakhir ini. Kolom ini saya tulis di Starbucks Plasa Senayan, kemarin sore, sehingga sambil merangkai kata dan analisa saya langsung melihat dan mengamati "on the spot" bagaimana konsumen OKB ini "beraksi" berburu diskon di tengah Jakarta Great Sale yang kini sedang menjadi demam di seantero kota saat ini.

Seperti halnya di Cina, Indonesia yang kini sedang bergerak menjadi negara maju baru (new emerging countries) seiring terlampauinya GDP perkapita $3000 (2010) akan menghasilkan banyak OKB. Mereka adalah konsumen kelas menengah baru ("new middle class consumers" atau saya menyebut mereka "consumer 3000") dengan kemampuan daya beli yang tinggi. Mereka membelanjakan uangnya (disposable income) tak hanya untuk produk kebutuhan sehari-hari tapi juga produk-produk sekunder bahkan mewah seperti gadget, mobil, branded fashion, atau liburan ke luar negeri.

Di Cina, konsumen kelas menengah-atas (dengan pengeluaran $10 perhari) kini sudah mencapai lebih dari 300 juta orang dan Cina merupakan negara dengan pertumbuhan OKB paling tinggi di seluruh dunia. Saat ini Cina merupakan pasar ketiga terbesar untuk produk-produk mewah (luxury product) seperti LV, Armani, atau Hugo Boss yang tumbuh 17-20% konsisten tiap tahun. McKinsey bahkan meramalkan tahun 2015 Cina akan menjadi pasar produk mewah terbesar di dunia yang menguasai sekitar 20% pangsa pasar.

Indonesia akan menikmati "panen besar" OKB seperti halnya yang terjadi di Cina seiring dengan cepatnya pertumbuhan ekonomi di era consumer 3000. OKB dalam judul kolom ini sengaja saya beri tanda kutip, karena mereka bukanlah orang kaya baru yang sesungguhnya. Mereka belum kaya-kaya amat, tapi lagak dan gaya hidupnya sudah seperti orang kaya. Konsumen jenis inilah yang begitu banyak saya temui di mal-mal, di supermarket-supermarket, atau di kantor-kantor. Jumlah mereka bakal terus membesar.

Bagaimana perilaku membeli dan konsumsi mereka? Berikut ini adalah sebagian di antaranya, yang saya dapatkan dari pengamatan sehari-hari saya.

Consumption is a Symbol of Richness

Mereka mengonsumsi produk-produk yang mereka beli bukanlah sekedar untuk memenuhi kebutuhan utilitas/fungsional mereka, tapi juga menjadi simbol bahwa mereka berasal dari kalangan berada. "consumption is a symbol of richness". Mereka ke Starbucks dengan membawa iPad atau MacBook Air, ngobrol berlama-lama dengan rekan atau pasangan bukan sekedar untuk ngopi, tapi juga untuk menunjukkan siapa mereka ("show me" lifestyle). Mereka berlibur ke luar negeri bukan sekedar untuk bersenang-senang menghilangkan stres dan kepenatan, tapi juga menjadi simbol bahwa mereka sudah menjadi golongan masyarakat mapan. "They consumed goods for self-advertisement than utility".

Shopping Exuberance

Beberapa bulan ini saya mengamati pola belanja ibu-ibu di Jakarta. Makin banyak dari mereka ini yang hobi banget ke mal, bisa 3-4 kali seminggu, dan setiap ke mal selalu saja ada yang dibeli. Celakanya, barang-barang yang dibeli itu sudah ada di rumah dan masih berfungsi dengan baik. Mereka membeli barang-barang mulai dari peralatan dapur, tas, sepatu, baju anak, peralatan olah raga, hingga ponsel, bukan karena mereka butuh tapi karena di mal mereka mendapati model yang lebih baru atau versi yang lebih baik. Karena barang yang sama terus dibeli, akibatnya tentu barang-barang itu menimbun di rumah.

"They buy not what they needed but what they desired". Tidak penting apakah barang itu dibutuhkan atau tidak; yang penting adalah ketika di mal mereka harus membeli. Inilah yang saya sebut "shopping exuberance". Yang terpenting bagi mereka adalah mendapatkan kenikmatan luar biasa saat berbelanja; apakah barang yang mereka beli itu bermanfaat dan memenuhi kebutuhan mereka bukanlah menjadi isu yang penting. Ketika konsumen kita merasakan adanya "keamanan finansial" (financial security) alias "merasa nggak hidup susah lagi", maka fenomena shopping exuberance ini akan kian merajalela.

"Buy Now, Pay Later" Culture

Bagi OKB, kartu kredit bukanlah sesuatu yang wah lagi. Kebiasaan berbelanja menggunakan kartu kredit pada gilirannya membentuk pola budaya belanja "buy now, pay later" yang ujung-ujungnya menjadikan mereka makin konsumtif. Ketika kita sudah "kecanduan" kartu kredit, maka biasanya kita "tutup mata" terhadap nilai uang yang kita keluarkan pada saat berbelanja. Pada saat berbelanja, tagihan kartu kredit adalah masalah belakang, pokoknya yang terpenting barang terbeli dulu. Itu sebabnya pertumbuhan OKB di banyak negara (kasus yang ekstrim terjadi di Brasil) selalu diikuti persoalan kredit macet yang terjadi pada para pengguna kartu kredit. Kalau budaya "buy now, pay later" ini tak terkendali, bisa-bisa banyak bank yang nantinya mengalami masalah karena para pemegang kartu kreditnya default tak mampu bayar.

Death Risk

Seperti halnya yang terjadi di Cina, OKB biasanya muncul karena seseorang mendapatkan peningkatan penghasilan yang sangat signifikan dalam kurun waktu yang relatif pendek. Karena adanya peningkatan "kemakmuran" secara cepat itu, biasanya OKB menjadi hyper-consumptive. Barang-barang yang dulunya tak terbeli kini secara membabi-buta mereka beli dan konsumsi. Celakanya peningkatan kemakmuran yang cepat ini tidak serta-merta diikuti dengan peningkatan "civilization" yang memadai.

Contohnya dalam hal konsumsi makanan. Seringkali terjadi, konsumsi makanan yang berlebih di kalangan OKB tidak diikuti dengan kesadaran terhadap pentingnya kesehatan. Karena itu tak mengherankan jika studi WHO menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan perkapita di negara-negara ASEAN termasuk Indonesia membawa dampak buruk berupa meningkatnya kematian akibat penyakit kronis seperti jantung, diabetes, kanker, dan pernafasan kronis. Studi itu mangatakan, "Mereka yang berpenghasilan lebih tinggi cenderung membeli dan berlebih mengkonsumsi daging, telur, susu, atau makanan siap saji."

Berada di Jalan yang Benar

Kalau kita bicara soal perencanaan keuangan, maka kita akan selalu bertanya-tanya, apakah kita sudah berada di jalan yang benar? Saya, Anda, kita semua pasti punya rencana-rencana yang ingin kita raih di masa depan. Tapi apakah untuk menggapai rencana tersebut kita sudah on target atau malah behind schedule?

Cara cepat untuk menentukan apakah kita sudah berada di jalan yang benar adalah salah satunya dengan mengukur kekayaan bersih (net worth). Berapa sih seharusnya kekayaan bersih yang kita miliki saat ini? Apakah seseorang berusia 30 tahun dengan kekayaan bersih Rp 50 juta lebih buruk daripada seseorang berusia 60 tahun dengan kekayaan bersih Rp 200 juta? Bagaimana kita bisa mengukurnya?

Dalam buku The Millionaire Next Door, Thomas Stanley dan William Danko mengusulkan sebuah formula berikut:

"Multiply your age times your realized pretax annual household income from all sources except inheritances. Divide by ten. This, less any inherited wealth, is what your net worth should be."

Kalikan usia Anda saat ini dengan seluruh penghasilan tahunan Anda (selain warisan/hibah). Kemudian, dibagi dengan 10. Inilah angka yang seharusnya mencerminkan kekayaan bersih Anda saat ini. Kalau Anda menikah (punya tanggungan), maka tinggal Anda kalikan dua dari angka tersebut.

Misalkan usia Anda sekarang 35 tahun. Anda mendapatkan gaji Rp 100 juta per tahun. Anda tidak punya tanggungan apa-apa. Berapakah seharusnya kekayaan bersih yang Anda miliki saat ini?

Cara menghitungnya adalah sebagai berikut: 35 (tahun) dikali 100 (juta) dibagi 10 sama dengan 350. Jadi setidaknya Anda harus punya kekayaan bersih sebesar Rp 350 juta saat ini.

Seandainya usia Anda saat ini 60 tahun dan menikah, dengan penghasilan yang sama (Rp 100 juta per tahun), maka seharusnya Anda punya kekayaan bersih sebesar Rp 1,2 miliar.

Formula ini bukan sesuatu yang baru, karena hanya memodifikasi dari formula klasik "10% savings rule." Formula ini juga menyederhanakan aspek lain seperti inflasi, pajak, suku bunga, dan sebagainya. Namun, formula ini cukup bisa menjadi cara cepat dan mudah untuk mengukur kekayaan Anda. Selain itu, biarpun sederhana, formula ini sudah teruji secara matematis.

Nah, sebelum kita masuk ke pembahasan yang lebih teknis dan lebih detil, cobalah Anda ukur kekayaan bersih Anda. Apakah Anda sudah berada di jalan yang benar? Apakah Anda sudah bisa melebihi standar tersebut? Atau malah Anda tertinggal di belakang?

Mengenal Jenis Investasi


Secara umum, investasi bisa dibagi dalam empat kategori utama:

(1) Investasi Surat Berharga (Paper Assets)

Investasi dalam kategori ini adalah investasi menggunakan instrumen finansial seperti reksadana, obligasi, ORI, saham, dan sebagainya. Instrumen surat berharga semacam ini diperjualbelikan di pasar keuangan (pasar modal). Untuk instrumen seperti saham atau obligasi, Anda diharuskan membuka account melalui pialang/broker untuk bisa melakukan transaksi. Sementara untuk instrumen seperti ORI atau reksadana bisa dibeli langsung dari bank atau dari agen penjual yang ditunjuk.

(2) Investasi Bisnis (Brick and Mortar)

Investasi dalam kategori ini misalnya Anda membuat bisnis sendiri atau membeli franchise yang sudah ada. Ini adalah alat investasi yang potential upside-nya tak terbatas. Orang bisa meraih kesuksesan dan kekayaan secara eksponensial dari bisnis. Tak percaya? Silakan buka daftar orang-orang terkaya di dunia versi Forbes (atau versi pemeringkat lainnya). Anda akan mendapati bahwa mayoritas orang-orang yang duduk di sana besar karena bisnis mereka.

(3) Investasi Properti (Real Estate)

Investasi properti bisa berupa tanah, rumah, ruko-rukan, maupun bentuk bangunan lainnya. Strategi investasinya secara umum bisa dibagi dua: jual-beli dan sewa. Jual-beli properti memungkinkan Anda mendapatkan gain dari selisih antara harga jual dan harga belinya. Padahal kita tahu bahwa properti (tanah) hampir selalu tak pernah turun harganya. Selain jual-beli, properti juga bisa Anda sewakan untuk mendapatkan cashflow dari tarif sewa yang Anda bebankan. Kelemahannya, investasi properti butuh dana yang cukup besar.

(4) Investasi Lain-lain

Adapun jenis investasi yang masuk kategori ini misalnya emas (logam mulia) -- salah satu instrumen investasi yang belakangan makin populer. Selain emas, sebenarnya logam mulia seperti perak atau paladium juga lazim dijadikan alat investasi. Selain itu, ada pula benda-benda seni (collectible) seperti barang-barang antik, lukisan, perhiasan, arloji premium, dan lain sebagainya yang memiliki unsur historis yang tinggi. Saya juga memasukkan anggur (wine) sebagai salah satu alternatif investasi karena harganya yang cenderung selalu naik.

Tiap orang punya keahlian dan spesialisasi masing-masing -- walaupun mungkin ada kecenderungan untuk menyukai atau mendalami jenis investasi tertentu. Misalnya, Bill Gates berinvestasi dalam bentuk bisnis (Microsoft) tapi dia juga berinvestasi dengan memborong emas dan perak di tahun 2000an. Donald Trump, selain dikenal sebagai raja properti, juga mengelola sejumlah bisnis di bidang lain.

Tapi bagaimana dengan pilihan investasi bagi kita orang kebanyakan?

Di Inggris, orang masih memilih tanah (land) -- bukan rumah (housing) -- sebagai pilihan investasi utamanya, sedangkan di Hongkong, saham adalah pilihan yang paling diminati. Sementara di New Zealand, ternyata deposito masih menjadi instrumen investasi yang paling populer.

Sementara di Indonesia, hasilnya relatif beragam. Sebagian besar orang masih menyimpan dananya dalam bentuk deposito di bank. Tapi tak sedikit juga yang memiliki investasi dalam bentuk tanah atau properti. Sedangkan untuk instrumen lain yang lebih canggih seperti reksadana atau saham, relatif masih terbatas di kalangan tertentu. Harus diakui bahwa di Indonesia masih sedikit mereka yang melek informasi sekaligus punya appetite terhadap risiko untuk bisa menjangkau instrumen-instrumen investasi semacam itu.

Berkenalan dengan Compound Interest


Mengapa saya menulis soal price vs. value dan create vs. consume?

Rumus untuk membangun kekayaan (wealth building) sebenarnya sederhana, yaitu you must produce more income than you spend and invest the difference. Sederhana, mudah dipahami, namun tak semua orang bisa melakukannya.

Nah, dari pembahasan soal price vs. value sebelumnya, saya berharap Anda bisa belajar untuk menurunkan belanja Anda (lower your spending). Sementara dari pembahasan soal create vs.consume, saya berharap Anda bisa meningkatkan income Anda (increase your income). Tujuannya apa? Supaya selisihnya bisa Anda investasikan.

Mengapa kita harus berinvestasi?

Because you want to enjoy the best years of your life. Because you don't want to need to worry about money anymore. Karena Anda sudah bosen hidup susah. Iya kan?

Nah, sekarang ijinkan saya untuk memperkenalkan kepada Anda kekuatan bunga-berbunga (the power of compounding interest).

Albert Einstein menyebut compound interest sebagai "the eight wonder of the world" atau keajaiban dunia yang ke-8. Compound interest memungkinkan kita mendapatkan hasil investasi yang cukup besar dengan modal awal yang relatif tidak besar. Kalau selama ini Anda bekerja untuk uang (you work for money), maka kini saatnya uang yang bekerja buat kita (money work for us).

Misalkan anda punya Rp 10 juta hari ini. Uang tersebut akan diinvestasikan dengan bunga 15% per tahun, dalam jangka waktu 10 tahun ke depan. Maka, bunga yang akan Anda peroleh seharusnya sebesar Rp 10 juta dikali 15% dikali 10 tahun atau sama dengan Rp 15 juta. Bila ditambahkan dengan modal pokok, maka total uang Anda akan menjadi Rp 25 juta.

Tapi nyatanya, hasil yang Anda peroleh akan lebih besar dari Rp 25 juta karena ada sistem bunga-berbunga (compounding interest).

Jadi, pada tahun pertama, investasi Anda akan bertumbuh menjadi Rp 11,5 juta. Tahun kedua, Anda akan mendapatkan 15% dari Rp 11,5 juta tersebut, atau sebesar Rp 1,725 juta. Pada akhir tahun kedua total uang Anda akan menjadi sebesar Rp 13,225 juta. Pada tahun ketiga, Anda akan mendapatkan 15% lagi dari uang tersebut. Begitu seterusnya hingga akhir tahun ke-10. Nah, pada akhir tahun ke-10 nanti, modal Anda akan bertumbuh menjadi tak kurang dari Rp 40 juta.

Di sini Anda bisa melihat ada perbedaan signifikan dengan bunga biasa dengan bunga-berbunga (compounding interest). Selisihnya cukup besar, yaitu Rp 40 juta dikurangi dengan Rp 25 juta, atau sebesar Rp 15 juta.

Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa makin dini Anda berinvestasi, maka makin banyak waktu yang dimiliki sehingga compound interest bekerja lebih keras buat Anda. Makin tinggi uang yang diinvestasikan, maka makin besar pula hasil akhir yang akan Anda dapatkan kelak.

Jadi, mulai hari ini tetapkan dalam hati dan pikiran Anda: increase your income, lower your spending, invest the rest.


Start as soon as possible and let the money work for you.

Create versus Consume

Fakta yang terjadi di dunia ini adalah bahwa sebagian besar dari kita hanya bisa mengkonsumsi, tidak bisa memproduksi atau menghasilkan sesuatu. Most people don't create. Most people consume.

Mungkin terdengar sederhana, namun perbedaan ini akan terasa sangat signifikan sekali pengaruhnya.

Di dunia ini, produsenlah yang menghasilkan uang dan konsumenlah yang menghabiskan uang. Produsen adalah mereka yang diuntungkan. Konsumen adalah mereka yang cenderung dirugikan.

Jadi, kalau Anda sudah bosan hidup susah dan ingin merubah hidup Anda, maka mulailah melihat dari perspektif produsen.

Jadilah seorang produsen. Buatlah sesuatu yang punya value dan diminati orang banyak. Start becoming in demand. Start taking the drivers' seat.

Sebelumnya Anda membeli laptop dan Blackberry dengan kacamata konsumen. Anda menggunakannya hanya untuk bermain game, BBM dengan teman-teman, atau ngobrol yang tak terlalu penting.

Sekarang, mulailah melihat dari kacamata produsen.

Cobalah manfaatkan laptop Anda untuk menghasilkan sesuatu, menulis buku, membuat aplikasi pemrograman, atau menggambar desain yang bisa dijual, dan seterusnya. Cobalah manfaatkan Blackberry Anda untuk membangun kontak dengan prospek atau calon customer Anda. Apapun yang bisa dilakukan dari kacamata seorang produsen.

Kalau selama ini Anda cuma gemar membeli buku karya orang lain, mengapa tidak mulai mencoba menulis buku Anda sendiri?

Kalau selama ini Anda hanya mengikuti seminar orang lain, hey, kenapa tidak Anda buat seminar Anda sendiri? Toh, Anda juga punya keahlian dan knowledge yang bisa berguna buat orang lain, bukan?

Kalau selama ini Anda berpikiran untuk membeli franchise orang lain, mengapa tidak mencoba membuat sendiri bisnis Anda dan menjual lisensi franchise-nya kepada orang lain?

Percayalah, perubahan mindset ini akan sangat berpengaruh sekali.

Kebanyakan orang-orang bekerja keras untuk mencukupi kebutuhannya, dari slip gaji yang satu ke slip gaji yang lain, tak jarang berujung pada utang.

Mengapa?

Karena kita hanya berfokus pada membeli, membeli, dan membeli sesuatu. Kita tidak pernah berfokus pada menghasilkan atau menjual sesuatu.

So, from now on, start producing something! Start becoming in demand. Start taking the drivers' seat.

Price versus Value

saya ingin mulai membahas soal konsep-konsep yang perlu kita ketahui dalam bidang perencanaan keuangan. Yang pertama adalah konsep price vs. value.

"Price is what you pay. Value is what you get." Begitulah kira-kira apa yang dikatakan Warren Buffett, salah seorang investor dan businessman terkemuka di dunia.

Orang masih sulit membedakan antara harga (price) dengan nilai (value). Price tidak selalu sama dengan nilai. Ada kalanya suatu barang lebih tinggi price-nya daripada value-nya. Sebaliknya, bisa jadi ada barang dengan value tinggi namun price-nya tak seberapa.

Bisa jadi pula, barang yang sama mempunyai price dan value yang berbeda -- tergantung pada persepsi kita sebagai pembelinya.

Ambil contoh sebuah mobil sedan mewah Aston Martin.

Buat seorang selebriti atau public figure, mobil tersebut punya value yang tinggi. Mengapa? Kaum selebriti atau public figure "dituntut" untuk selalu tampil menawan di setiap penampilannya. Begitu pula dengan kendaraan yang digunakannya. Dus, membeli mobil mewah sekelas Aston Martin jelas akan mendongkrak value mereka di mata publik.

Namun bagi saya, value sebuah mobil Aston Martin mungkin tidak seberapa. Buat saya, Honda Civic atau Toyota Camry sudah cukup. Lebih mewah dari itu mungkin tidak akan menambah value apa-apa buat saya. Yang ada justru sebaliknya: merepotkan. Biaya maintenance-nya cukup tinggi, pajak yang dibayar juga mahal, belum lagi kondisi jalanan di Jakarta yang kurang favorable.

Begitu juga dengan sebuah Blackberry.

Buat saya, Blackberry punya value yang tinggi karena memungkinkan saya untuk selalu terkoneksi lewat email/messenger setiap saat di manapun saya berada. Dengan begitu, mudah bagi saya untuk melakukan aktivitas dan pekerjaan saya selagi saya mobile. Biaya langganannya mungkin mahal. Namun karena Blackberry tersebut saya gunakan untuk bekerja -- dan menghasilkan uang lebih besar daripada biaya langganan yang harus dibayar -- maka value Blackberry tersebut tetap tinggi.

Tapi bagi keponakan saya yang masih SMA, Blackberry mungkin tak terlalu tinggi valuenya. Dia menggunakan Blackberry hanya untuk berkomunikasi dengan pacar dan teman-temannya. Kepentingan terhadap Blackberry tersebut mostly trivial. Yang terjadi justru Blackberry menjadi liabilities buat dia, karena ada beban biaya yang harus dia tanggung dari penggunaan Blackberry tersebut.

Jadi, sebelum Anda melakukan pembelian (apapun itu), mulailah pikirkan, "What value will this provide?"

Apakah barang tersebut akan menjadi aset (harta/kekayaan), atau malah jadi liabilities(utang/tanggungan) bagi Anda? Apakah barang tersebut akan membntu Anda menghasilkan uang? Apakah barang tersebut malah menghabiskan uang Anda? Ataukah justru barang itu bakal menyusahkan Anda nantinya?

Mayoritas pembelian yang kita lakukan biasanya berujung pada liabilities (utang/tanggungan). Apalagi, kita membelinya sekarang dengan utang (kartu kredit). Lebih parah lagi, pembelian tersebut biasanya untuk barang-barang yang sifatnya konsumtif, bukan untuk barang-barang yang produktif atau bisa digunakan untuk cari duit. Akibatnya, pembelian-pembelian tersebut hanya akan menguras waktu dan energi Anda.

Cobalah untuk mengevaluasi pembelian-pembelian yang sudah Anda lakukan dalam 1-2 bulan terakhir. Menurut Anda, apakah pembelian-pembelian itu adalah pembelian yang memang valueable (worth the money) atau tidak? Apa yang bisa Anda simpulkan dari pembelian-pembelian Anda selama 1-2 bulan terakhir ini?

Mulai saat ini, sebelum melakukan pembelian apapun (apalagi yang harganya cukup mahal), ajukan pertanyaan ini ke diri Anda sendiri:
What value will this provide?
Will this help me become a better person?
Kalau jawaban untuk dua pertanyaan tersebut adalah "YA," then go for it. Tapi kalau "TIDAK," segeralah untuk membuang jauh pikiran Anda untuk membelinya

Trading Menggunakan Aturan Lama


Menggunakan tingkat koreksi 33-50% dari gerakan sebelumnya atau rata-rata bergerak yang tepat sebagai titik pertama di mana untuk menambahkan.

Bersabarlah. Jika perdagangan tidak terjawab, menunggu koreksi terjadi sebelum menempatkan diperdagangan.

Bersabarlah. Setelah perdagangan diletakkan, memungkinkan waktu untuk mengembangkan dan memberikan waktu untuk membuat keuntungan yang Anda harapkan. seperti kata Pepatah lama bahwa "Anda tidak pernah bangkrut mengambil untung"

Jadilah sabar. Seperti biasa, kecil kehilangan dan kerugian yang cepat adalah kerugian terbaik. Sebaliknya, itu adalah modal mental yang digunakan ketika Anda duduk dengan kehilangan perdagangan yang penting.

Tidak pernah dalam kondisi apapun, menambah perdagangan yang rugi, atau "rata-rata" ke posisi.
Jika Anda membeli, maka setiap harga beli baru harus lebih tinggi dari harga beli sebelumnya.
Jika Anda menjual, maka setiap harga jual baru harus lebih rendah.
Aturan ini harus dipatuhi tanpa pertanyaan!!!

Melakukan lebih dari apa yang bekerja untuk Anda, dan kurang dari apa yang tidak. Setiap hari, melihat berbagai posisi yang Anda pegang, dan mencoba untuk menambah perdagangan yang memiliki keuntungan Ini adalah dasar dari pepatah lama, "biarkan keuntungan Anda berjalan."

 Ketika kerugian tajam, ambil cuti. Tutup semua perdagangan dan perdagangan berhenti selama beberapa hari.  Dorongan "untuk mendapatkan kembali uang" adalah ekstrim, dan tidak harus diberikan.
Ketika melakukan trading dengan baik, perdagangan agak lebih besar. Kita semua mengalami periode-periode waktu yang luar biasa ketika semua perdagangan menguntungkan. Ketika itu terjadi, perdagangan agresif dan perdagangan lebih besar.

Ketika menambahkan untuk perdagangan, tambahkan hanya 1 / 4 sampai 1 / 2 sebanyak saat ini dipegang. Artinya, jika Anda memegang 400 saham, di titik berikutnya di mana untuk menambahkan, tambahkan tidak lebih dari 100 atau 200 saham.

Berpikir seperti seorang pejuang gerilya. Kami ingin bertempur di samping pasar yang menang, tidak membuang-buang waktu dan modal pada upaya sia-sia untuk mendapatkan ketenaran dengan membeli atau menjual terendah tertinggi dari beberapa pergerakan pasar.
Tugas kita adalah untuk mendapatkan keuntungan dengan berjuang bersama pasukan menang. Jika tidak ada pihak menang, maka kita tidak perlu melawan sama sekali.

Tidak ada "jenius" dalam aturan. Mereka adalah akal sehat dan tidak ada lagi,seperti kata pepatah "Akal sehat adalah jarang."Trading adalah bisnis yang masuk akal.Trade simply. Hindari metodologi yang kompleks tentang sistem teknis jelas dan perdagangan sesuai dengan tren utama saja.

::tips::
1.Studi jangka panjang grafik. Mulailah analisis grafik dengan grafik bulanan dan mingguan mencakup beberapa tahun.
2.Tentukan tren dan mengikutinya. menentukan yang mana yang Anda akan perdagangkan dan menggunakan grafik yang sesuai. Pastikan Anda perdagangan dalam arah tren itu.
3.Temukan level support dan resistance. Tempat terbaik untuk membeli pasar dekat level support,Tempat terbaik untuk menjual pasar dekat resistance level
4.Mengukur persentase retracement.
5.Menggambar garis tren. Yang Anda butuhkan adalah tepi lurus dan dua titik pada grafik.
  Garis trend up yang diambil bersama dua terendah berturut-turut.
  Garis tren turun yang diambil bersama dua puncak yang berurutan.
6.Ikuti rata-rata gerakan(moving average)

Alasan Utama Mengapa Trader Forex Gagal


Ada banyak jawaban untuk pertanyaan ini: Mengapa kebanyakan trader forex gagal?
  • Beberapa menyalahkan overload pasar di perdagangan
  • Beberapa menyalahkan emosi
  • Beberapa menyalahkan mentalitas balas dendam
  • Beberapa menyalahkan dorongan seseorang
  • Beberapa menyalahkan pasar
  • Beberapa menyalahkan nasib buruk
  • Beberapa menyalahkan salah open
  • Beberapa menyalahkan tidak mengambil keuntungan
  • Etc etc etc

Seperti yang dilihat, akan ada berton-ton alasan yang menjelaskan mengapa trader forex gagal.
Ini adalah semua yang berhubungan dengan psikologi trading forex.
Tetapi saya sangat percaya bahwa itu semua mengarah ke satu jawaban.
UANG
Ya, jawabannya adalah UANG.


Alasan utama mengapa sebagian besar pedagang gagal adalah karena uang.
Tidak diragukan lagi bahwa kita semua masuk ke forex untuk uang.
Tapi itu akan menjadikan uang yang membunuh kita di forex.
Bagi kita uang yang kita masukkan ke dalam modal forex adalah uang yang sulit kita dapatkan.
ketika kita memiliki mentalitas bahwa kita TIDAK BISA kehilangan uang,dan sebagai manusia semua serakah. kita ingin melipatgandakan CEPAT modal kita.

Untuk sukses dalam trading forex, kita harus LUPA bahwa ada uang yang terlibat.
Anda harus belajar untuk berdagang bukan karena uang. Tapi karena Anda ingin trading forex dan Anda bersemangat tentang hal itu.
Ketika anda trading dengan tepat dan melupakan tentang uang, uang akan datang secara alami.
Tetapi bila Anda terlalu berfokus pada uang, semua emosi Anda akan memicu.
karena Anda melihat perdagangan dan Anda begitu yakin tentang hal itu, Anda berjudi ukuran seluruh account Anda pada perdagangan tersebut. dan kehilangan semuanya.
Atau karena Anda ingin merasa baik dan terlihat baik, dan Anda berpikir bahwa Anda mampu menggandakan account Anda dalam seminggu. Jadi Anda mengambil perdagangan yang jauh di luar persentase risiko manajemen uang anda.
Atau Anda membuat serangkaian kerugian, dan Anda berpikir bahwa jika Anda meningkatkan persentase risiko pada perdagangan tertentu, Anda akan membuat kembali kerugian Anda.

Semua alasan di atas mengarah ke jawaban utama. UANG.
Jika kita tidak trading untuk uang, hanya ingin fokus pada penguasaan perdagangan dan perdagangan dengan benar.
Tidak akan ada lagi emosi di tempat manapun.

Saya sangat merekomendasikan para pedagang untuk melupakan tentang uang di forex.
berdaganglah dengan sistem trading forex Anda dan disiplin. Fokus pada perdagangan secara benar.
Hal ini bahkan lebih baik jika Anda dapat menutupi bagian uang pada layar broker forex Anda.
Abaikan berapa banyak memiliki ukuran account Anda profit atau berapa banyak Anda kehilangan.
Ketika Anda mampu melakukan itu, Anda kemudian akan melihat gambaran besar dan Anda akan lebih analitis pada perdagangan forex Anda.